Apa saja larangan bagi wanita haidh, nifas, orang junub, dan orang yang berhadats?
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan,
وَيَحْرُمُ بِالحَيْضِ وَالنِّفَاسِ ثَمَانِيَّةُ أَشْيَاءَ الصَّلاَةُ وَالصَّوْمُ وَقِرَاءَةُ القُرْآنِ وَمَسُّ المُصْحَفِ وَحَمْلُهُ وَدُخُوْلُ المَسْجِدِ وَالطَّوَافُ وَالوَطْءُ وَالاِسْتِمْتَاعُ بِمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ.
Yang diharamkan untuk wanita haidh dan nifas ada delapan hal:
- Shalat
- Puasa
- Membaca Al-Qur’an
- Menyentuh dan membawa mushaf
- Masuk masjid
- Thawaf
- Berhubungan intim
- Bercumbu antara pusar dan lutut.
وَيَحْرُمُ عَلَى الجُنُبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ : الصَّلاَةُ وَقِرَاءَةُ القُرْآنِ وَمَسُّ المُصْحَفِ وَحَمْلُهُ وَالطَّوَافُ وَاللُّبْثُ فِي المَسْجِدِ.
Yang diharamkan untuk orang junub ada lima hal:
- Shalat
- Membaca Al-Qur’an
- Menyentuh dan membawa mushaf
- Thawaf
- Berdiam di masjid.
وَيَحْرُمُ عَلَى المُحْدِثِ ثَلاَثَةُ أَشْيَاءَ: الصَّلاَةُ وَ الطَّوَافُ وَمَسُّ المُصْحَفِ وَحَمْلُهُ.
Yang diharamkan untuk orang yang berhadats ada tiga hal:
- Shalat
- Thawaf
- Menyentuh dan membawa mushaf
–
Larangan shalat dan puasa untuk wanita haidh dan nifas
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya,
ما بَالُ الحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، ولَا تَقْضِي الصَّلَاةَ
“Kenapa sampai wanita haidh mengqadha puasa, tetapi tidak mengqadha shalat?” Aisyah berkata,
أحَرُورِيَّةٌ أنْتِ؟
“Apakah kamu seorang Haruriyah?” Ia menjawab,
لَسْتُ بحَرُورِيَّةٍ، ولَكِنِّي أسْأَلُ
“Saya bukan Haruriyah, saya hanya sekadar bertanya.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كانَ يُصِيبُنَا ذلكَ، فَنُؤْمَرُ بقَضَاءِ الصَّوْمِ، ولَا نُؤْمَرُ بقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Dahulu kami mengalami haidh, kami hanya diperintah mengqadha’ puasa, tetapi kami tidak diperintah untuk mengqadha’ shalat.” (HR. Bukhari, no. 321 dan Muslim, no. 335)
Catatan: Larangan shalat bagi wanita haidh ini berlaku untuk shalat fardhu, shalat sunnah, maupun shalat jenazah. Jika wanita haidh itu wudhu, lalu mengerjakan shalat, shalatnya batal dan ia berdosa.
Baca juga:
Larangan wanita haidh dan junub membaca Al-Qur’an
Hadits yang melarang hal ini adalah,
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
“Tidak boleh bagi orang junub dan haidh membaca Al-Qur’an.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi. Hadits ini DHA’IF, lihat Shahih Al-Jaami’, no. 6364)
Untuk wanita haidh, yang TEPAT, masih boleh membaca Al-Qur’an, asalkan tidak menyentuh mushaf langsung. Sedangkan untuk orang junub tidak boleh membaca Al-Qur’an, kecuali untuk niatan selain tilawah.
Catatan:
- Wanita haidh dan nifas masih dibolehkan membaca Al-Qur’an ketika khauf (khawatir), untuk maksud berdoa, takut lupa, atau keadaan darurat untuk belajar.
- Para ulama empat madzhab sepakat bahwa haram bagi orang yang junub membaca Al-Qur’an. Dalil pendukungnya adalah hadits berikut dari ‘Ali bin Abi Thalib,
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ لا يَحْجُبُهُ عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ جُنُبًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidaklah melarang dari membaca Al-Qur’an sedikit pun juga kecuali dalam keadaan junub.” (HR. Ibnu Hibban, 3:79; Abu Ya’la dalam musnadnya, 1:400. Husain Salim Asad menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Baca juga:
Larangan menyentuh dan membawa Al-Qur’an bagi orang yang berhadats (wanita haidh, nifas, orang junub, dan berhadats kecil)
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 79).
Catatan: Boleh membawa mushaf dalam keadaan berhadats dengan tumpukan barang yang lain, asalkan Al-Qur’an di tengah, tetapi niatannya adalah membawa tumpukan barang, bukan membawa mushaf.
Baca juga: Menyentuh Mushaf bagi Orang Berhadats
Larangan wanita haidh dan junub masuk masjid
Dalam hadits disebutkan,
لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
“Tidak dihalalkan masjid bagi wanita haidh dan orang yang junub.” (HR. Abu Daud, no. 232. Hadits ini DHA’IF menurut Syaikh Al-Albani).
Catatan:
- Jumhur ulama berpendapat bahwa orang junub tidak boleh berdiam di masjid, hanya boleh melewati saja. Larangan ini berdasarkan surah An-Nisaa’ ayat 43. Yang dimaksud ayat, janganlah mendekati shalat adalah janganlah mendekati tempat shalat yaitu masjid. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisaa’: 43).
- Tidaklah ada hadits yang melarang wanita haidh memasuki masjid kecuali hadits yang dikaji kali ini. Sedangkan pengqiyasan wanita haidh dengan orang junub tidaklah tepat karena orang junub masih bisa segera bersuci. Sehingga pendapat yang tepat, wanita haidh masih boleh berdiam di masjid, yang penting tidak mengotori masjid.
Jika wanita haidh sekadar lewat saja atau mengambil sesuatu di masjid, hukumnya boleh.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
نَاوِلِيْنِى الخُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ.
“Ambilkan untukku khumrah (sajadah kecil) dari masjid.” “Sesungguhnya aku sedang haid”, jawab ‘Aisyah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya haidhmu itu bukan di tanganmu.” (HR. Muslim, no. 298).
Baca juga:
Larangan thawaf bagi wanita haidh
Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR. Bukhari, no. 305 dan Muslim, no. 1211)
Baca juga: Mendapati Haidh Ketika Thawaf Ifadhah
Larangan hubungan intim dengan wanita haidh dan nifas
Allah Ta’ala berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)
Catatan:
– Menyetubuhi wanita saat haidh termasuk dosa besar jika dilakukan dengan sengaja, atas pilihan sendiri dan dalam keadaan punya ilmu akan haramnya. Namun, untuk perbuatan ini tidak ada kafarah, yang ada adalah bertaubat dengan taubatan nasuhah (taubat yang tulus) dan tidak mengulanginya lagi.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
“Barang siapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi, no. 135; Ibnu Majah, no. 639; Abu Daud, no. 3904. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Baca juga: Bersetubuh Saat Haidh
Larangan Bercumbu dengan Wanita Haidh pada Wilayah Antara Pusar dan Lutut
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai yang halal bagi laki-laki pada istrinya ketika istri tersebut haidh. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
ما فوقَ الإزارِ
“Selain yang ditutupi sarung (berarti selain antara pusar dan lutut).” (HR. Abu Daud, no. 213. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini DHA’IF).
Catatan:
- Boleh mencumbu wanita haidh di pusar dan lututnya, yang telarang adalah pada wilayah antara pusar dan lutut.
Asal tidak sampai hubungan intim di kemaluan
Boleh bercumbu dengan wanita haidh selama tidak melakukan jima’ di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haidh) selain jimak (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302)
Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami hadidh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haidh, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haidh di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya darah haidh atau selain kemaluannya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
لَكِنْ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ مِنْ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ بِمَا فَوْقَ الْإِزَارِ وَسَوَاءٌ اسْتَمْتَعَ مِنْهَا بِفَمِهِ أَوْ بِيَدِهِ أَوْ بِرِجْلِهِ فَلَوْ وَطِئَهَا فِي بَطْنِهَا وَاسْتَمْنَى جَازَ . وَلَوْ اسْتَمْتَعَ بِفَخِذَيْهَا فَفِي جَوَازِهِ نِزَاعٌ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
“Boleh bagi seorang suami mencumbu wanita haidh atau wanita yang mengalami nifas selain wilayah sarungnya (berarti selain antara pusar dan lutut). Ia boleh mencumbunya dengan mulut, tangan atau kakinya. Seandainya ia menyetubuhinya di perutnya, lalu keluarlah mani, maka itu masih dibolehkan. Namun jika ia mencumbu istrinya pada kedua paha istrinya (belum sampai kemaluan, pen), maka tentang bolehnya diperselisihkan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 21:624)
Baca juga: Bersetubuh dengan Wanita Setelah Darah Berhenti, Tetapi Belum Mandi Wajib
Larangan talak ketika haidh
Dari Anas bin Sirin, ia berkata,
سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ قَالَ طَلَّقَ ابْنُ عُمَرَ امْرَأَتَهُ وَهْىَ حَائِضٌ ، فَذَكَرَ عُمَرُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « لِيُرَاجِعْهَا » . قُلْتُ تُحْتَسَبُ قَالَ « فَمَهْ »
“Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata bahwa ia telah mentalak istrinya dalam keadaan haid. Lantas ‘Umar mengadukan hal ini pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Suruh ia untuk rujuk.” Aku (Anas berkata pada Ibnu ‘Umar), “Apakah hal itu dianggap jatuh talak?” Ibnu ‘Umar menjawab, “Kalau tidak teranggap, lalu apa?” (HR. Bukhari, no. 5252 dan Muslim, no. 1471)
Talak ketika haidh dan sebelum suci dengan mandi atau tayamum tetap HARAM, walau talak tersebut dianggap jatuh.
Baca juga: Talak Ketika Haidh
Larangan shalat bagi orang yang berhadats
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu.” Ahdatsaberarti muncul hadats yaitu sesuatu yang keluar dari salah satu dari dua jalan atau pembatal wudhu lainnya. (HR. Bukhari, no. 6954 dan Muslim, no. 225)
Baca juga: Orang Berhadats Tidak Diterima Shalatnya
Larangan thawaf dalam keadaan berhadats
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الطَّوافُ حَولَ البيتِ مِثلُ الصَّلاةِ، إلَّا أنَّكم تتكلَّمونَ فيه، فمن تكلَّمَ فيه فلا يتكَلَّمنَّ إلَّا بخيرٍ
“Thawaf sekitar Kabah adalah seperti shalat. Namun, thawaf dibolehkan untuk berbicara. Siapa yang mau berbicara, berbicaralah hanya dalam kebaikan.” (HR. Tirmidzi, no. 960; Ad-Darimi, no. 1847; Ibnu Majah, no. 3836. Hadits ini dinyatakan sahih oleh Ibnu Al-Mulaqqin, dihasankan oleh Ibnu Hajar, dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Baca Juga:
Referensi:
- Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.
- Berbagai tulisan di web Rumaysho.Com
–
Diselesaikan pada 4 Rajab 1444 H, 26 Januari 2023
Artikel Rumaysho.Com
(function(d, s, id){
var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0];
if (d.getElementById(id)) return;
js = d.createElement(s); js.id = id;
js.src = “//connect.facebook.net/en_US/sdk.js#xfbml=1&version=v3.2”;
fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs);
}(document, ‘script’, ‘facebook-jssdk’));
Desain Rumah Kabin
Rumah Kabin Kontena
Harga Rumah Kabin
Kos Rumah Kontena
Rumah Kabin 2 Tingkat
Rumah Kabin Panas
Rumah Kabin Murah
Sewa Rumah Kabin
Heavy Duty Cabin
Light Duty Cabin
Source link