Jika kemanusiaan menang, maka setiap orang akan menang. Apapun itu agama, ideologi, dan madzhabnya. Jika kemanusiaan menang, maka Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu juga akan menang. Jika kemanusiaan menang, maka Sunni, Syiah, dan lainnya juga akan menang.
Karena itu, memperjuangkan kemanusiaan adalah kunci. Kunci untuk menciptakan peradaban. Statemen ini kembali digaungkan oleh Gus Yahya. Tepatnya dalam orasi ilmiah penganugerahan Doktor Honoris Causa dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 13 Februari 2023. Setidaknya ada tiga hal penting dalam pidato yang tidak lebih dari 30 menit itu.
Pertama, penegasan Gus Yahya mengenai kemanusiaan menjadi titik tolak peradaban. Peradaban apapun yang dibangun, harus bersendi pada pemuliaan kemanusiaan. Kemanusiaan harus menjadi konsens perjuangan. Bukan terikat oleh batas agama, ideologi, atau madzhab tertentu.
Dalam pengamatannya, perjuangan yang hanya terikat pada identitas tertentu, akan sulit mengelak bergesekan dengan identitas lain. Terjadi persaingan dan benturan antar identitas. Sejarah dunia telah memberikan pelajaran. Semisal Perang Salib, konflik antar penganut agama di Timur Tengah, Hindia, Myanmar, dan lainnya. Jika ini tidak diatasi, maka kerugian akan dirasakan semuanya. Baik yang menang ataupun yang kalah. Masing-masing telah merusak sisi kemanusiaan dan peradaban. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Di masa mudanya, Gus Yahya tumbuh sebagai generasi muda dengan semangat keislaman. Ditempa dengan keilmuan agama, karenanya memiliki semangat bela agama menyala-nyala. Hal ini juga dialami oleh generasi muda lainnya di era itu. Di sisi lain, dihadapkan pada fakta bahwa Islam mendapatkan tekanan, baik dari lingkup nasional maupun global.
Gus Yahya merasa beruntung tidak masuk dalam jaringan radikalisme. Sebaliknya, mendapatkan bimbingan dari Gus Dur. Sehingga terbuka cara pandangnya. Dapat menemukan bagaimana seharusnya Islam diposisikan. Khususnya dalam upaya membangun peradaban. Termasuk di dalamnya adalah memilih jalan untuk memperjuangkan kemanusiaan. Di titik ini, terdapat pertalian pemikiran antara Gus Dur dan Gus Yahya.
Kedua, penegasan Gus Yahya bahwa pembelaan terhadap kemanusiaan adalah perjuangan panjang. Memperjuangkan kemanusiaan memerlukan waktu yang sangat panjang. Bukan sehari dua hari. Membutuhkan kesadaran dan komitmen bersama. Termasuk dari seluruh umat beragama. Masing-masing harus menjadikan sejarah masa lalu sebagai cermin bersama. Identitas dan ajaran agama jika tidak tepat dipahami, dapat mendorong penganutnya untuk bertikai.
Lebih dari itu, penganut agama lain dianggap musuh yang halal darahnya. Pandangan ekslusif ini hampir ada di sebagian pemeluk agama, apapun agamanya. Karenanya, tokoh agama harus menyadari hal ini. Kemudian bergandeng tangan untuk mengatasinya. Tentu hal ini bukanlah yang mudah. Namun harus dilakukan. Agama harus dihadirkan untuk membangun peradaban dan kemanusian. Bukan untuk merusaknya.
Ketiga, penegasan Gus Yahya terkait komitmen posisi NU memasuki abad II. Merujuk sejarahnya, NU tidak sekedar dibentuk untuk Indonesia saja. Lebih dari itu. Untuk ikut turut andil berperan membangun peradaban dunia. Memperjuangan kemanusiaan universal. Karenanya, dalam upaya meningkatkan peran, di awal kepemimpinan Gus Yahya, NU telah memulai beberapa langkah penting.
Dalam skala nasional, telah diadakan halaqah fikih peradaban. Tersebar lebih dari 250 tempat. Melibatkan banyak kalangan, terlebih kalangan pesantren. Halaqah ini hendak memantik bagaimana turats yang telah banyak dikaji di pesantren dapat merespon isu-isu global kekinian. Sedangkan dalam skala global, NU telah mengadakan R-20 dan Halaqah Internasional Fikih Peradaban. Inisiasi kegiatan ini banyak diapresiasi masyarakat internasional.
Dengan menyimak orasi ilmiah dan langkah nyata PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya, tidak berlebihan jika kita berharap perjuangan kemanusian global itu akan semakin nyata bentuknya. Yakinkah anda? Sejarah akan menjawabnya.
Source link