Mukjizat secara bahasa bermakna “melemahkan”. Secara istilah, mukjizat dipahami sebagai amrun khariqun lil ‘adah atau sesuatu yang mendobrak suatu kebiasaan. Artinya, mukjizat itu sesuatu yang berada di luar kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Selain itu, mukjizat juga salimun ‘an al-mu’aradlah, selamat dari tandingan. Artinya, tidak ada seorangpun selain Nabi yang bisa menandingi kedahsyatannya.
Para Nabi dan Rasul dikaruniai Allah mukjizat masing-masing dan disesuaikan dengan umat yang menjadi sasaran dakwah mereka. Menurut Jalaluddin as-Suyuthi, mukjizat ada yang berupa eksperimental atau inderawi (hissiyyah), ada juga yang berupa rasional (‘aqliyyah). Mukjizat yang ditujukan kepada Bani Israil, misalnya, kebanyakan berupa mukjizat eksperimental. Menurut As-Suyuthi, hal itu lantaran untuk disesuaikan dengan sifat mereka yang dungu dan sedikit kecerdasannya.
Sementara itu, mukjizat yang ditujukan kepada umat Nabi Muhammad kebanyakan berupa mukjizat rasional. Hal itu, menurut As-Suyuthi, juga disesuaikan dengan sifat mereka, yakni memiliki kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman. Di antara mukjizat yang ditujukan kepada umat Nabi Muhammad adalah Al-Qur`an. Sejak awal diturunkannya, mukjizat yang satu ini telah menghadapi berbagai tantangan dari mereka yang mencoba menandinginya. Namun, sebesar apapun usaha yang mereka lakukan, ternyata Al-Qur`an tetap tidak tertandingi.
Kemukjizatan Al-Qur`an
Para ulama berbeda-beda dalam menjelaskan kemukjizatan yang dimiliki Al-Qur`an. Misalnya, kemukjizatan uslub atau gaya bahasanya yang begitu indah. Hingga masyarakat Arab sekalipun, yang terkenal dengan kemahirannya dalam bersyair, tidak dapat menandinginya.
Menurut Ibnu Qutaibah dalam Ta`wil Musykilil Qur`an, salah satu kemukjizatan Al-Qur`an adalah kitab suci itu mampu menghimpun banyak makna hanya melalui sedikit lafal. Ia mengatakan, wa jumi’a al-katsiru min ma’anihi fi al-qalili min lafdhihi, di dalam lafalnya yang sedikit itu terkumpul banyak makna.
Artinya, kitab suci Al-Qur`an sesungguhnya telah disajikan se-simpel mungkin tanpa berbelit-belit. Sehingga, siapa saja yang mempelajarinya akan lebih mudah memahami maksudnya. Bisa jadi, usaha memahami Al-Qur`an yang dilakukan oleh seorang muslim menjadi lebih rumit jika Al-Qur`an disajikan panjang lebar dan berbelit-belit.
Ibnu Qutaibah memberi contoh yang ada dalam Q.s. Al-A’raf [7] ayat 199 berikut.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.
Menurut Ibnu Qutaibah, ayat yang pendek itu mampu mencakup seluruh budi pekerti luhur. Pertama, dalam lafal khudzil ‘afwa, terkandung budi pekerti menyambung tali silaturrahmi dengan mereka yang memutusnya, memaafkan mereka yang menzalimi, serta memberi kepada mereka yang pelit.
Selanjutnya, dalam lafal wa`mur bil ‘urfi, terkandung budi pekerti bertakwa kepada Allah, menyambung tali silaturrahmi, memelihara lisan dari perkataan bohong, dan menjaga anggota badan dari hal-hal yang diharamkan. Kata ‘urf sendiri digunakan untuk menyebut hal-hal yang telah diketahui oleh semua orang bahwa itu merupakan kebaikan, serta hati menjadi tenteram dengan melakukannya.
Lalu, dalam lafal wa a’ridl ‘anil jahilin, terkandung budi pekerti sabar dan bersikap lemah lembut dalam menghadapi orang bodoh, penyucian diri dari kebodohan, serta mencabut diri dari sifat keras kepala (karena orang yang bodoh cenderung keras kepala. Bahasa kerennya susah dibilangin).
Hikmahnya
Menurut Ibnu Qutaibah, Al-Qur`an itu kitab suci yang tidak akan habis “keajaibannya”, ia memiliki manfaat yang tidak akan pernah terputus manfaatnya. Siapapun yang bersedia mempelajari dan mentadabburinya, niscaya akan menemukannya. Meski lafalnya terbatas, “hanya” 30 juz, namun kandungan maknanya tak terbatas.
Jika diumpamakan, maka lafal Al-Qur`an itu seperti air di dalam gelas, hanya sedikit. Akan tetapi, kandungan makna di dalamnya tidak akan cukup ditampung oleh luasnya samudera. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.s. Al-Kahfi [18] ayat 109.
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya habislah lautan itu sebelum kalimat-kalimat Tuhanku selesai (ditulis) meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”
Tidak berlebihan jika Sahl al-Tustari ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan,
لَوْ أَنَّ عَبْدًا أَعْطَي لِكُلِّ حَرْفٍ مَنَ القُرْآنِ أَلْفَ فَهْمٍ لَمَّا بَلَغَ نِهَايَتَهُ عِلْمِ اللَه فَيْهِ
Seandainya seorang hamba berusaha memberikan seribu makna atas setiap huruf Al-Qur`an, niscaya ia tidak akan pernah sampai kepada ujung ilmu Allah di dalamnya.
Lalu, apa hikmah dari kemukjizatan Al-Qur`an yang berupa sedikit lafal namun memiliki makna yang tak terbatas ini?
Hikmahnya adalah kita tidak boleh mudah menyalahkan pemahaman terhadap Al-Qur`an yang dimiliki orang lain. Jangan sampai, ketika terdapat perbedaan pemahaman, kita menganggap bahwa pemahaman kita adalah satu-satunya pemahaman yang benar, dan yang di luar pemahaman kita itu salah. Karena hal itu sama saja membatasi Kalamullah yang sifatnya tidak terbatas. Wallahu A’lam.
Desain Rumah Kabin
Rumah Kabin Kontena
Harga Rumah Kabin
Kos Rumah Kontena
Rumah Kabin 2 Tingkat
Rumah Kabin Panas
Rumah Kabin Murah
Sewa Rumah Kabin
Heavy Duty Cabin
Light Duty Cabin
Source link