Mesir di abad 19 menjadi salah satu embrio lahirnya para qari masyhur dunia. Para qari itu ditempa dari kuttab-kuttab dan madrasah Al-Qur’an. Rata-rata mereka menamatkan hafalannya di usia yang masih belia beserta keilmuan Al-Quran lainnya, seperti ilmu qiraat dan tafsir. Setelah menempuh pendidikan Al-Quran, bagi mereka yang memiliki suara merdu dan bacaan Al-Qur’an yang bagus, melanjutkan dakwahnya melalui seni tilawah Al-Qur’an.
Beberapa literatur sejarah mencatat para qari di Mesir terus bermunculan setiap generasi. Terdapat ketersinambungan antara para qari senior dan murid-muridnya. Seperti halnya Syekh Muhammad Rifat yang menjadi satu pelopor pelantun tilawah Al-Qur’an di radio Cairo pertama kalinya hingga generasi-generasi setelahnya seperti Syekh Abdul Basith Abdussamad, Syekh Mahmud Khalil, Syekh Mahmud Ali Al-Banna, Syekh Mustafa Ismail, Syekh Anwar Shahat, Syekh Siddiq Al Mishawi, dan masih banyak lagi. Bahkan hingga kini Mesir tiada hentinya mencetak qari masyhur yang terus mendunia, seperti halnya Syekh Mahmod Shahat dan Syekh Yasir As-Syarqawi.
Menyoal Syekh Muhammad Rif’at sebagai legenda sekaligus pelopor seni tilawah Al-Quran, seorang ulama Mesir Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi merikan pendapatnya. Dikutip dari satu wawancara televisi terkait lontaran pertanyaan kepadanya persoalan para qari besar di Mesir.
Syekh Mutawalli menjawab, “Jika engkau menginginkan bacaan dengan keindahan tajwid, maka dialah Mahmud Khalil Al-Husary. Jika engkau menginginkan bacaan dengan keindahan suara, maka dialah Abdul Basith Abdussamad. Jika engkau menginginkan bacaan dengan nafas panjang dan keindahan irama, maka dialah Mustafa Ismail. Jika engkau menginginkan semuanya, maka dialah Muhammad Rifat.”
Biografi Syekh Rif’at: Mengalami Kebutaan sejak Kecil
Syekh Muhammad Rif’at lahir pada hari Senin, 9 Mei 1882 M, di Al-Darb Al-Ahmar kegubernuran Cairo. Sejak kecil di usia dua tahun Syekh Rif’at mengalami kebutaan. Ayahnya meninggal saat ia beranjak remaja. Kepergian sang Ayah menjadikannya tulang punggung keluarga. Satu keistimewaan yang ia miliki dari orang-orang sezamannya adalah kemerduan suara dan kepiawaiannya membaca Al-Qur’an. Keistimewaan paling utama adalah perjalanan hidupnya sebagai penghafal Al-Qur’an.
Dengan bakat yang dimilikinya itu, tatkala usianya sampai lima belas tahun, Syekh Rif’at diminta membacakan Al-Qur’an di khalayak umum serta didaulat menjadi qari tetap setiap hari Jumat di sebuah masjid kampung halamannya. Tradisi itu terdengar luas, orang-orang berduyun-duyun mendatangi masjid lebih awal ketika hari Jumat tiba untuk mendengar bacaannya.
Nama Syekh Rif’at pun terus semerbak di telinga masyarakat Cairo. Hingga suatu ketika Syekh Rif’at dipanggil ke pusat Cairo ketika sebuah radio di Mesir baru dibuka pada tahun 1934 M. Sesuai arahan syekh Al-Azhar kala itu, surat Al-Fath ayat 1 menjadi pembuka bacaan Al-Qur’an pertama kali yang diperdengarkan secara meluas.
Sang Penjaga Kemuliaan Al-Quran
Bacaan Syekh Muhammad Rif’at mungkin tidak terlalu dikenal dewasa ini. Bisa dikata rekaman-rekaman beliau sudah jarang terawat baik dan minim disebarluaskan. Hal itu secara wajar terjadi karena faktor kurun waktu yang lama dan juga akses rekaman radio saat itu tidak bisa menjangkau luas ke semua wilayah. Namun, beberapa akun youtube masih menyimpan setidaknya potongan-potongan bacaan beliau yang masih orisinil yang tak lekang oleh zaman.
Persoalan keutuhan bacaan, selaras dengan pendapat Syekh Mutawalli Asy-Syarawi, keindahan lantunan Syekh Rif’at benar-benar masuk ke lubuk hati pendengar. Bahkan dari pendapatnya itu, Syekh Mutawalli hendak mendeklarasikan sosok legenda di antara para legenda.
Dalam bacaan Syekh Rif’at, tidak ada keunggulan satu sisi yang ditampilkan, bacaannya mengunggulkan semua aspek dalam Al-Qur’an secara merata, baik tajwid, suara yang indah, nafas yang panjang, hingga irama-irama yang menawan.
Keteguhannya dalam merawat bacaan itu juga disebutkan dalam literatur yang sama. Suatu ketika Syekh Rif’at diminta sebuah stasiun penyiaran swasta untuk membacakan ayat-ayat zikir bijak dengan lagu nyanyian. Namun secara tegas Syekh Rif’at langsung menolaknya. Ia berpendapat jika bacaan Al-Qur’an tidak layak dinyayikan sebebas-bebasnya, dan penghormatan kepada Al-Qur’an tidak seharusnya dengan lagu-lagu yang cenderung merendahkan.
Mempertahankan kesederhanaan
Hal yang paling mendasar dan patut diteladani dari Syekh Rif’at adalah persoalan gaya hidup. Dengan kondisi keterbatasan fisiknya sebagai penyandang tunanetra, ia tidak pernah putus asa untuk terus menyiarkan bacaan-bacaan Al-Qur’an. Ia dikenal sebagai sosok yang tak rakus dan tamak akan ketenaran, dan bahkan tak pernah berharap soal kekayaan yang melimpah. Baginya, seorang penghafal Al-Qur’an tak akan bisa dihina selagi memang dalam hidupnya disandarkan hanya untuk mendakwahkan Al-Qur’an.
Ketenaran tidak membuatnya melangit. Bahkan diceritakan pula ketika rekaman bacaannya sudah sampai di radio mancanegara, pasca perang dunia kedua, radio-radio di Eropa (Berlin, London, Paris) merubah isi siaran pada segmen Arab dengan bacaannya. Dengan radio-radio mancanegara itu sebetulnya bisa saja Syekh Rifat meraup harta yang berlimpah. Namun, prinsip keteguhan hatinya mengabdi pada Al-Qur’an tidak membuatnya bergeming sedikitpun.
Ketika perjalanan usianya menua, Syekh Rif’at jatuh sakit mengidap tumor di pita suaranya delapan tahun terakhir sebelum wafatnya. Dan bahkan sampai menjelang wafatnya, Syekh Rif’at masih tak menginginkan kemewahan dalam hidup. Gaya hidup zuhud dan asketis menjauhi keduniawian sudah sangat melekat hingga akhir hayatnya. Dan pada akhirnya, Senin 9 Mei 1950 M, sang legenda dunia itu menghembuskan nafas terakhirnya dan mencatatkan warisan keindahan bacaan Al-Qur’an di seluruh dunia. Hingga kini, dalam catatan sejarah nama beliau disandang dengan gelar Syeikh Muluk At-Tilawah, sekaligus Qitsarat As-Sama’ “Sang Kecapi Langit”. (AN)
—-
Sumber Rujukan
Al-Khouli, Mahmud Taufiq. 2012. Qitsarat as-sama’i’ Syaikh Muhammad Rif’at. Cairo : al-Haiat al-Mishriyyah al-ammah.
Mahmud, Abu-Talib. 2016. Al-Qur’an bi Shaut al-Mishri (Mu’jamu al-Qurra’i al-Mishriyyin). Cairo : al-Haiat al-Mishriyyah al-ammah.
Source link